MADILOG IS ME


Oleh:
Muhamad Handar
Mahasiswa Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Jurusan Ilmu Sosial Politik Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta

Meskipun sudah tiada, namun karyanya dan semangat patriotik masih terus membumi hingga saat ini. Tengok saja seperti, ‘Dari Penjara Ke Penjara’; Madilog, Gerpolek, Aksi Massa dan lain sebagainya yang merupakan karya autobiografi dari sebuah adagium “revolusi memakan korban anaknya sendiri.” Siapakah beliau? Betul, beliau adalah Tan Malaka.
Ketertarikan penulis terhadap sosok Tan Malaka yakni terhadap ide pemikiran pendidikan yang beliau tuangkan dalam suatu karyanya yaitu ‘MADILOG’. Dilihat dari sejarahnya sebelum Tan Malaka terjun ke dunia pergerakan politik, beliau awalnya seorang pedagogi (pendidik). Sebuah ihwal konsepsi pendidikan yang mampu mengejewahtakan transformasi pendidikan berpikir secara integratif dan menyeluruh yang menurut penulis mampu memajukan budaya literasi di Indonesia dan menjadi bangsa yang beradab baik secara moril maupun spiritual.
Ketika pendidikan di Indonesia yang semakin semrawut hal itu diidentifikasikan seperti, maraknya tawuran antarpelajar, krisis moralitas, hilangnya budaya rasa malu dan sebagainya. Akibat salah urus pendidikan dibuktikan dengan bergantinya kurikulum, kemampuan guru yang masih minim memiliki jiwa among, sertifikasi hanya menjadi obral belaka karena yang di incar hanya sekadar gaji, namun tidak mengangkat aspek dari segi profesionalitas seorang guru serta pendidikan hanya mengejar nilai ketimbang moralitas atau karakter. Dengan demikian, refleksi pendidikan Tan Malaka perlu diperjuangkan kembali dan harus tertanam dalam jiwa seorang pendidik. Sehingga suatu saat nanti pendidikan di Indonesia mampu terunggul dari pendidikan berbagai dunia lainnya.

More Information:
FaceBook Indonesia Menginspirasi:
FanPage Indonesia Menginspirasi:
Twitter Indonesia Menginspirasi:
Regist On Line:
Web Indonesia Menginspirasi:

PILKADA JAKARTA SETENGAH BOPENG

Oleh :
Muhammad Handar
Mahasiswa Jurusan Ilmu Sosial Politik Tahun 2009 FIS UNJ



Berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pemilihan kepala daerah (gubernur, bupati, dan walikota) dipilih langsung oleh rakyat. Sebelumnya, pemilihan kepala daerah dipilih melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Pemilihan kepala daerah melalui DPRD membawa segala permasalahan atau kekecewaan pada masyarakat.
Pertama, politik oligarki dilakukan DPRD dalam memilih kepala daerah. Banyak terjadi kasus kepentingan partai dan elit partai sering memanipulasi kepentingan masyarakat luas.
Kedua, mekanisme pemilihan kepala daerah selama ini cenderung menciptakan ketergantungan kepala daerah terhadap DPRD. Akibat dari ketergantungan memicu terjadinya kolusi dan money politics antara kepala daerah dengan anggota DPRD.
Ketiga, terjadi penghentian dan pencopotan serta tindakan yang over dari para anggota DPRD terhadap kepala daerah, seperti kasus di Surabaya dan Kalimantan Selatan berdampak pada gejolak dan instabilitas politik dan pemerintahan lokal.
Cermin Kepemimpinan Nasional
Dalam konteks Jakarta, berdasarkan data BPS DKI Jakarta Tahun 2005  penduduk Jakarta sekitar 8,6 juta. Sebagai pusat pusaran politik, Jakarta menjadi negeri impian politisi. Mereka menganggap memenangkan kompetisi Pilkada di Jakarta mampu membawa prestise dan unjuk prestasi untuk menjadi barometer politik nasional.
Salah satu bentuk kompetisi pemilihan umum itu adalah Pemilihan Kepala Daerah langsung (Pilkada langsung). Pilkada langsung merupakan salah satu aspek dinamika dalam mewujudkan demokrasi di level lokal. Menurut O’Neall pilkada langsung adalah “all  politic is local” yang dimaknai sebagai demokrasi di tingkat nasional akan tumbuh berkembang dengan mapan dan dewasa. Ini terjadi jika di tingkat lokal nilai-nilai demokrasi berakar dengan baik.
Ahmad Baehaki dalam“Wajah Jakarta Setengah Bopeng” mengatakan pada Pilkada 2007 lalu, terdapat 5.746.601 pemilih yang terdaftar dan 1.987.539 (sebesar 34,59%) pemilih tidak menggunakan hak suaranya. Jika dibandingkan dengan perolehan pasangan Fauzi Bowo-Prijanto, ada perbedaan tipis 36% (57% dari suara sah) jika dihitung dari jumlah total pemilih (bukan hanya dari suara sah yang dihitung KPUD).
Ini membuktikan fenomena golput di Jakarta sangat besar dan harus mendapatkan perhatian. Dari data itu kita mengetahui masyarakat DKI Jakarta yang sadar politik lebih berfikir dinamis. Untuk itu diperlukan langkah preventif terutama dari KPUD DKI Jakarta agar masalah golput tersebut dapat diminimalisir agar tidak terulang pada Pilkada tahun ini. Apalagi berdasarkan hasil survei Lembaga Kajian Strategis Nasional (LKSN), pada bulan April diketahui jumlah perempuan yang enggan menggunakan hak suara dalam Pemilukada 2012, berjumlah 43 persen. Jelas ini sebuah ancaman bagi pesta demokrasi warga Jakarta.
Melihat maraknya golput dan buruknya kinerja KPUD DKI Jakarta dibutuhkan pengawasan mahasiswa dan kontrol masyarakat. Mahasiswa berperan sebagai ‘agent of change’ yang membawa aspek perubahan signifikan bagi kehidupan bangsa dan negara. Mahasiswa harus terintegrasikan dalam sebuah idealisme yang mampu menjaga stabilitas Pilkada DKI Jakarta yang jujur dan demokratis. Mahasiswa juga diminta bersinergitas dengan LSM, akademisi dan masyarakat DKI Jakarta dalam mengontrol pemilu yang berkeadilan.
Selain itu dibutuhkan partisipasi aktif partai politik. Secara das sollen, peran dan fungsi partai politik adalah menciptakan pemimpin dan memberikan pendidikan politik untuk masyarakat. Namun, faktanya partai politik lebih banyak melakukan pencitraan untuk kepentingan partai dan golongan tertentu dan mengabaikan kepentingan bangsa dan negara.
Menunggu Parpol Serius
Selain persoalan golput, masyarakat Jakarta sesungguhnya khawatir kasus Andi Nurpati dalam pemilihan Presiden (Pilpres) 2009 kembali terulang. Ketika itu, dirinya memperdagangkan KPU untuk mendapatkan jabatan politis. Sehingga memberikan kemulusan kepada Partai Demokrat memenangkan pertarungan. Setelah itu, Andi dikabarkan menjabat sebagai petinggi partai berlambang Mercy itu.
Untuk mencegah Pilkada DKI Jakarta tidak bopeng dan bersih dari politik uang, maka diperlukan kepastian hukum sehingga orang yang bersalah dihukum sesuai prosedur. Selain itu, partai politik perlu diberikan dorongan untuk sadar hukum dan menjalankan politik santun.
Sudah seharusnya partai politik menjadi salah satu tools demokrasi dengan memberikan kesadaran kepada segenap elit politik agar partai politik menjadi meaningfull life of people. Jika itu dijalankan, kita layak berharap Pilkada jujur dan demokratis dapat tercipta.

Sumber Referensi :
Baehaqi, Ahmad. 2010. Wajah Jakarta yang Setengah Bopeng. Jakarta: Schola Media LPM Didaktika UNJ.
Nuryanti, Sri. 2006. Analisis Proses dan Hasil Pemilihan Kepala Daerah Langsung 2005 di Indonesia. Jakarta: LIPI.


MADILOG IS ME



Muhamad Handar
Mahasiswa Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Jurusan Ilmu Sosial Politik Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta

Meskipun sudah tiada, namun karyanya dan semangat patriotik masih terus membumi hingga saat ini. Tengok saja seperti, ‘Dari Penjara Ke Penjara’; Madilog, Gerpolek, Aksi Massa dan lain sebagainya yang merupakan karya autobiografi dari sebuah adagium “revolusi memakan korban anaknya sendiri.” Siapakah beliau? Betul, beliau adalah Tan Malaka.
Ketertarikan penulis terhadap sosok Tan Malaka yakni terhadap ide pemikiran pendidikan yang beliau tuangkan dalam suatu karyanya yaitu ‘MADILOG’. Dilihat dari sejarahnya sebelum Tan Malaka terjun ke dunia pergerakan politik, beliau awalnya seorang pedagogi (pendidik). Sebuah ihwal konsepsi pendidikan yang mampu mengejewahtakan transformasi pendidikan berpikir secara integratif dan menyeluruh yang menurut penulis mampu memajukan budaya literasi di Indonesia dan menjadi bangsa yang beradab baik secara moril maupun spiritual.
Ketika pendidikan di Indonesia yang semakin semrawut hal itu diidentifikasikan seperti, maraknya tawuran antarpelajar, krisis moralitas, hilangnya budaya rasa malu dan sebagainya. Akibat salah urus pendidikan dibuktikan dengan bergantinya kurikulum, kemampuan guru yang masih minim memiliki jiwa among, sertifikasi hanya menjadi obral belaka karena yang di incar hanya sekadar gaji, namun tidak mengangkat aspek dari segi profesionalitas seorang guru serta pendidikan hanya mengejar nilai ketimbang moralitas atau karakter. Dengan demikian, refleksi pendidikan Tan Malaka perlu diperjuangkan kembali dan harus tertanam dalam jiwa seorang pendidik. Sehingga suatu saat nanti pendidikan di Indonesia mampu terunggul dari pendidikan berbagai dunia lainnya.