Pendidikan Multikultural untuk Mendukung Peningkatan Sumber Daya Manusia di
Indonesia
Oleh:
Muhamad Handar
Oleh:
Muhamad Handar
Pendahuluan
Indonesia adalah salah satu negara multikultural
terbesar di dunia. Kebenaran dari pernyataan ini dapat dilihat dari kondisi
sosio-kultur maupun geografis yang begitu beragam dan luas. Sekarang ini,
jumlah pulau yang ada di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
sekitar 13.000 pulau besar dan kecil. Populasi penduduknya berjumlah lebih dari
200 juta jiwa, terdiri dari 300 suku yang menggunakan hampir 200 bahasa yang
berbeda (Ainul Yakin, 2005:4). Selain itu, mereka menganut agama dan
kepercayaan yang beragam seperti Islam, Katolik, Kristen Protestan, Hindu,
Budha, Konghucu serta berbagai aliran kepercayaan. (BPS, BAPPENAS, 2001).[1]
Berdasarkan gambaran di atas negara Indonesia adalah
negara multikultur. Keanekaragaman ini, di satu sisi merupakan berkah, karena
keberagaman itu merefleksikan kekayaan khasanah budaya. Tak heran jika Satjipto
Rahardjo berkesimpulan bahwa Indonesia adalah laboratorium yang sangat lengkap
dan menjanjikan untuk penelitian di bidang-bidang ilmu sosial dan humaniora.
Namun disisi lain, keberagaman juga berpotensi
besar untuk “tumbuh suburnya” konflik, terutama jika keberagaman
tersebut tidak mampu dikelola dengan baik. Contohnya berbagai fenomena konflik
telah terjadi di banyak tempat pada sepuluh tahun terakhir. Ada kekerasan
terhadap etnis Cina di Jakarta tahun 1998. Konflik horizontal di Maluku tahun
1999-2003 yang sebagian orang menyebutnya sebagai perang Islam-Kristen. Konflik
protes politik lokal di Aceh. Kerusuhan di Tasikmalaya tahun 1996. Konflik
dalam penyelenggaraan Pilkada di beberapa daerah. Konflik kaki lima dengan
aparat. Konflik antarsupporter sepak bola. Konflik antarpelajar dan mahasiswa (tawuran).
Konflik antarsuku di Papua. Konflik sengketa tanah antara warga dengan
pengusaha. April 2010, konflik tanah bernuansa agama antarwarga dengan
pengusaha di Tanjung Priok, Jakarta. Terakhir, agustus 2011 tawuran antarormas,
pedagang koran perebutan lahan dagang di Tanah Abang.
Permasalahan-permasalahan tersebut menunjukkan bahwa
banyak orang tidak mengerti hidup ini diwarnai dengan perbedaan-perbedaan,
ketidakmengertian itu seringkali berujung pada prasangka yang bermuara pada
konflik-konflik antaretnik dan pertikaian bersenjata antarkelompok massa di
Indonesia yang sulit diselesaikan hingga mendarah daging pada masyarakat
tersebut. Sehingga permasalahan kondisi masyarakat tersebut sangat mempengaruhi
kondisi pemerintahan setempat.
Dalam Undang-Undang Dasar 1945 tercantum bahwa
seluruh masyarakat Indonesia tanpa kecuali termasuk anak-anak dan orang cacat
jasmani telah diberikan hak-hak istimewa berupa persamaan hak dalam mendapat
pendidikan yang layak. Filosofi yang paling dalam terdapat dalam undang-undang
tersebut telah mengangkat harkat dan martabat bangsa Indonesia dan telah
mewadahi tumbuh kembangnya keberagaman budaya sebagai kekhasan bangsa ini
dibanding dengan negara-negara lain di dunia. Namun, pada dekade akhir-akhir
ini filosofi tersebut tidak dapat mengakar dengan kuat di dalam praktek-praktek
pendidikan karena suprasistem yang berlaku selalu menghendaki adanya
keseragaman yang dibingkai dalam kurikulum pendidikan yang sentralistik.
Andaikan filosofi ini betul-betul diimplementasikan dengan baik, dimana setiap
anak memiliki hak yang sama dalam pendidikan.
Maka dari itu, pendidikan
multikultur merupakan kesatuan dari sebuah konsep, sebuah gerakan reformasi
dalam sebuah pendidikan dan sebuah proses yang bersifat kontinyu. Salah satu
upaya untuk memperkokoh nasionalisme di Indonesia perlu dikembangkan suatu
model pendidikan yang dapat membawa bangsa ke arah perspektif ke-Indonesia-an
yang utuh, namun ciri khas masing-masing kelompok dalam masih tetap
terpelihara, model ini menurut Sonhaji (2002) disebut multicultur education sehingga dapat meningkatkan kualitas SDM di
Indonesia.
Multikulturalisme
di Indonesia
Kenyataan
bahwa Indonesia merupakan sebuah negara yang multikultural
memang tidak dapat disangkal. Hal ini terbukti dengan adanya penjelasan tiga
peneliti senior Leo Suryadinata, Evi Nurvidya Arifin, dan Aris Ananta dari Institute of Southeast Asian Studies
(ISEAS, 2003) yang menyebut ada sekitar 1000 etnis atau sub etnis di Indonesia
(Ainul Yakin, 2007: 206).[2]
Keadaan ini, harus disadari, menyimpan potensi besar terhadap timbulnya
pertentangan antaretnis yang satu dengan yang lainnya.
Untuk mencegah terjadinya hal tersebut,
terdapat 2 perihal tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia, yaitu :
1.
Struktural
Salah satu hal yang menjadi ironi dunia
pendidikan saat ini adalah masalah pemerataan akses pendidikan di Indonesia
yang belum signifikan. Dari laporan UNDP menunjukkan angka Human Development Index (HDI) masyarakat Indonesia yang menjadi
salah satu indikator pemerataan pendidikan di Indonesia jauh tertinggal dari
negara-negara lain di Asia. Angka putus sekolah masih tinggi.
Menurut data resmi yang dihimpun
dari 33 Kantor Komnas Perlindungan Anak (KPA) di 33 provinsi, jumlah anak putus
sekolah pada 2007 sudah mencapai 11,7 juta jiwa. Penambahan jumlah tersebut disebabkan keadaan ekonomi nasional
yang kian memburuk, dan tingkat kemiskinan yang terus bertambah kurang lebih
25% dari jumlah penduduk Indonesia.[3]
Peningkatan jumlah anak putus
sekolah di Indonesia sangat tinggi. Pada 2006 jumlahnya masih sekitar 9,7 juta anak, namun setahun
kemudian sudah bertambah sekitar 20% menjadi 11,7 juta jiwa.[4] Dapat dibayangkan, gairah belajar
dan harapan 12 juta anak Indonesia terpaksa dipadamkan. Angka putus sekolah
tersebut merupakan bukti apatis pemerintah terhadap dunia pendidikan. Hal itu
sebenarnya dapat diatasi jika pemenuhan anggaran pendidikan 20%, sebagaimana
diamanatkan pasal 31 ayat 4 UUD (Amandemen Keempat), dikelola dengan baik
sesuai kebutuhan.
2. Kultural
Indonesia
merupakan sebuah bangsa yang mempunyai banyak sekali keragaman, baik dari segi
suku bangsa, agama, ras, maupun antargolongan. Keragaman yang ada tersebut
sangat memungkinkan terjadinya sikap – sikap primordialisme maupun
etnosentrisme yang dapat memicu dan sangat berperan dalam menyulut terjadinya
konflik dalam masyarakat Indonesia. Oleh karena itulah perlu dikembangkan pemahaman dan
pengetahuan lintas budaya (cross culture education) melalui suatu sistem
pendidikan multikultural di sekolah – sekolah Indonesia (andisanjaya : 2010).
Pada prinsipnya, pendidikan multikultural adalah
pendidikan yang menghargai perbedaan. Pendidikan multikultural senantiasa
menciptakan struktur dan proses di mana setiap kebudayaan bisa melakukan
ekspresi. Dalam bukunya Choirul Mahmud, mengatakan tentu saja untuk membuat
desain pendidikan multikultural tidak mudah. Tetapi, paling tidak kita mencoba
melakukan ijtihad untuk mendesain sesuai dengan prinsip – prinsip pendidikan.
Implementasi
pendidikan multikultur di Indonesia tentu saja tidak terlepas dari pelaksanaannya
yang dilakukan secara komprehensip, tujuan, prinsip, serta aspek-aspek lain
yang mendukungnya, seperti kurikulum, pendekatan dan strategi pembelajaran,
serta guru yang berkompeten yang mampu mengantarkan peserta didiknya memahami
lebih jauh lagi mengenai keragaman budaya di Indonesia. Sehingga dalam
implementasinya, pendidikan multikultur diharapkan mempunyai peran vital dalam
fungsinya. Pendidikan multikultural mempunyai dua peran utama, yaitu menyiapkan
bangsa Indonesia untuk siap menghadapi arus budaya luar di era globalisasi dan
menyatukan bangsa sendiri yang terdiri dari berbagai macam budaya. Bila kedua
peran itu dapat dicapai, maka kemungkinan disintegrasi bangsa dan munculnya
konflik dapat dihindarkan.
Pendidikan Multikultural Dapat Mendukung
Kemajuan Sumber Daya Manusia di Indonesia
Untuk dapat memahami pendidikan
multikultural secara komprehensif, diperlukan landasan pengetahuan
(epistemologi) yang berupa bangunan konsep-konsep yang relevan dan mendukung
keberadaan serta berfungsinya pendidikan multikultural dalam kehidupan manusia.
Sebagai model, masyarakat multikultural
Indonesia adalah sebuah masyarakat yang berdasarkan pada ideologi
multikulturalisme atau bhineka tunggal ika, yang melandasi corak struktur
masyarakat Indonesia baik pada tingkat nasional maupun lokal.
Upaya ini dapat
dimulai dengan pembuatan pedoman etika dan pembakuannya sebagai acuan bertindak
sesuai dengan adab dan moral dalam berbagai interaksi yang terserap dalam hak
dan kewajiban dari pelakunya dalam berbagai struktur kegiatan dan manajemen.
Pedoman etika ini diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Proses
enkulturasi harus dilakukan dengan cara-cara yang lebih strategis, khususnya
menyangkut penggunaan media yang berperan dengan baik dalam menanamkan
nilai-nilai budaya. Fungsi keluarga dan sekolah perlu mendapatkan perhatian
dengan cara optimalisasi peran.
2. Pembelajaran
kebudayaan perlu dilakukan melalui berbagai intitusi, dengan meningkatkan peran
lembaga pendidikan. Sosialisasi dan aktualisasi pemahaman kebudayaan yang tepat
dan mendalam perlu dilakukan dengan berbagai cara dengan memberikan pengalaman
kebudayaan secara langsung.
3. Penciptaan
minat terhadap kebudayaan merupakan proses yang penting untuk mendidik
masyarakat tentang perlunya kebudayaan baik di dalam kehidupan individu maupun
sosial. Minat ini diharapkan akan mendorong
perhatian dan kebutuhan masyarakat terhadap berbagai sumber kebudayaan yang
kaya, baik filsafat, pengetahuan, nilai-nilai, maupun warisan budaya.
4. Pemberdayaan
kebudayaan suku bangsa di berbagai tempat merupakan kebutuhan yang mendesak
untuk dilakukan, khususnya dengan mendukung berbagai kegiatan budaya dan
penguatan kelembagaan, dengan memperhatikan aspek gender dan generasi. Proses
ini ditujukkan untuk optimalisasi peran kebudayaan dalam pemetaan sosial
dan komunitas.
5. Pemahaman
kebudayaan secara lintas budaya, baik dalam bentuk pengalaman interaksi maupun
komunikasi, yang memungkinkan pengenalan budaya yang berbeda dan difusi
unsur-unsur kebudayaan dalam berbagai dimensinya ke dalam kehidupan berbagai
kelompok masyarakat.
6. Konflik
yang terjadi di berbagai tempat dalam berbagai bentuknya dapat dipicu oleh
berbagai proses sejalan dengan globalisasi. Peran lembaga mediasi
pada tingkatan lokal yang memiliki stratregis yang
kontekstual perlu diberdayakan agar berfungsi dengan baik.
7. Penguatan
kelembagaan dalam berbagai bentuknya, baik dalam lingkungan keluarga, lembaga
pendidikan, lembaga adat, maupun lembaga formal lainnya, perlu dilakukan.
8. Peranan
negara sangat dibutuhkan untuk
menumbuhkan pola kebudayaan yang sesuai untuk menuju masyarakat yang
dicita-citakan.
Bersamaan dengan upaya-upaya
diatas, sebaiknya Kemdiknas RI, mengadopsi pendidikan
multikultural untuk diberlakukan di sekolah, dari tingkat SD sampai tingkat SMA
dan Perguruan Tinggi. Pendidikan Multikultural sebaiknya dimasukkan ke dalam
kurikulum sekolah, dan pelaksanannya dapat dilakukan sebagai pelajaran
ekstrakurikuler atau menjadi bagian dari kurikulum sekolah, atau menjadi materi
pelajaran tersendiri (khususnya untuk daerah-daerah bekas konflik berdarah
antarsukubangsa, etnis dan SARA seperti Poso, Sampit, Kalimantan Barat,
Kalimantan Tengah dan berbagai tempat lainnya).
Sumber Buku:
Aly, Abdullah.
2011. Pendidikan Islam Multikulturalisme
Di Pesantren. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ichwal, Hamzah, et.al.
2011. Restorasi Pendidikan Indonesia.
Yogyakarta : Arruz-Media.
Yakin, Ainul.
2007. Pendidikan Multikultural. Yogyakarta:
Pilar Media.
Yasin, Yasnita.,
et.al.
2010. Ilmu Kewarganegaraan. Jakarta:
Laboratorium Sosial Politik Press.
Artikel dalam jurnal:
Ismail, Yusuf.
2007. “Peradaban
dan Pendidikan Multikulturalisme Dalam Perspektif Islam,” Jurnal Humaniora, Volume
6 No.1, Januari 2007, hlm. 18.
[1] YasnitaYasin., Yuyus Kardiman.
2010. Ilmu Kewarganegaraan. Jakarta:
Laboratorium
Sosial Politik Press, Hal.105
[4] Ibid., Hal. 143