Dok. pribadi |
Jakarta,
Jendela OPMI – Obrolan Pembaca Media Indonesia sebagai salah satu rubrik Media
Indonesia. Kembali menyelenggarakan kegiatan rutin berupa bedah buku yang diadakan
setiap sebulan sekali. Dalam edisi Januari 2015 ini, OPMI membedah buku novel
yang berjudul “The Rise of Majapahit” karya Setyo Wardoyo yang diselenggarakan
pada Sabtu, 31 Januari 2015 pukul 15.00-17.00 WIB di Toko Buku Gramedia Matraman
lantai 2. Jalan Matraman No. 46-50, Jakarta Timur.
Setyo
Wardoyo, penulis dari novel The Rise of Majapahit menuturkan bahwa ia pada
dasarnya bukanlah seorang penulis, dalam kesehariannya ia selalu mengurusi
talang bocor, parkir yang nggak beres dan sebagainya. Ujar pria yang menjabat
sebagai GA Manager di Media Indonesia ini.
Lalu
bagaimana semua bisa terjadi ? “semua orang bisa menulis. Hanya modal
kesempatan untuk melakukan sesuatu memulainya menjadi tulisan itu ada atau
tidak” pungkasnya. Proses penulisan ini pun untuk menyelesaikan ia mengatakan
hampir selama 2 bulan puasa. Imbuhnya.
Dalam
bedah buku The Rise of Majapahit yang berlangsung, mendapatkan masukan atau
kritik dari Bapak DR. Restu Gunawan selaku Kasubdit Diplomasi Budaya Direktorat
Internalisasi Nilai dan Diplomasi Budaya sebagai narasumber pada OPMI edisi
Januari 2015 ini.
Beliau
pun juga seorang penulis buku yang berkaitan dengan sejarah, tapi jika membaca
novel pernah namun kalau menulisnya belum pernah. Ujarnya.
Banyak
novel yang berlatar belakang sejarah bisa dijadikan sebagai metode pembelajaran
di sekolah. Sebagai praktisi di bidang sejarah, beliau pun sangat menyayangkan
penerapan pembelajaran sejarah selama ini sangat begitu membosankan,
dikarenakan hanya menghafal waktu, tempat, dan nama peristiwa saja.
Selanjutnya,
beliau menuturkan memberi sebuah contoh yang pernah beliau lakukan ketika
mengajar di sekolah kepada muridnya. Para pelajar yang melakukan tawuran,
dengan saling melempar batu satu sama lain, sesungguhnya mereka termasuk orang
yang primitif. Salah satu contoh yang beliau paparkan dalam pembelajaran
sejarah harus memberikan kritik yang baik sehingga dapat dipahami dengan
sesuatu yang terjadi pada masa lampau. Pungkasnya.
Dalam
kisah kerajaan Majapahit ibarat seperti oase atau ladang bagi para ilmu
pengetahuan. Dalam penjelasannya, beliau menyatakan suatu tanda-tanda bahwa kerajaan
Majapahit begitu luas daerah kekuasannya bersumber terdapat di dalam tiga buah
kitab, yaitu kitab Negarakertagama, Sutasoma, dan Pararaton.
Selain
itu, dengan semangat kebangsaan, diistilahkan zeitgeist. Beliau mengemukakan dua hal yakni retorika dan
anakronisme. Retorika yang dimaksud bahwa penulis telah berhasil membuktikan
untuk menyelesaikan novel tersebut. Lalu, anakronisme, menurut beliau dapat
dikatakan sebagai menuliskan sesuatu sesuai zaman. Misalnya, dalam halaman
tertentu di dalam buku novel ini tertulis “lantai yang bersih dan mengkilap”.
Padahal jika ditilik pada zaman lalu, lantai itu belum pakai keramik, masih
batu-bata. Dan, dalam halaman 48 tertulis “tangan kirinya memeluk boneka jerami
yang menemani tidurnya sejak selepas senja”. Beliau mengungkapkan bahwa boneka
ada/masuk di Indonesia, pertama kali semenjak Belanda datang ke Hindia
Belanda.dan, contoh terakhir yang beliau kritik dalam novel ini, yaitu ada
adegan Kertanegara memotong salah satu kuping pasukan Mongol dengan menggunakan
keris. Padahal, hakekat sesungguhnya, keris digunakan untuk menusuk, bukan
untuk memotong. Papar beliau.
Hal
yang menarik dari isi buku ini sebagai salah satunya banyak terdapat nama-nama
desa dan/atau kampung yang barangkali belum diketahui oleh banyak orang. Nenek
moyang dahulu, adanya pemberian nama sesuatu pasti ada maknanya. Tambahnya.
Semua
tersaji yang di dalam novel ini begitu baik dan mendeskripsikan sesuatu dengan
sangat halus dan sangat direkomendasikan untuk dibaca oleh semua kalangan serta
begitu mengapresiasinya atas terbitnya buku ini.
0 Comments:
Posting Komentar