Cerminan yang terpampang di depan mata
seraya kabur menggurita dan biasanya saling berucap satu sama lain. Dia
terlihat begitu egois, rupa wajah tersembunyi aura benci yang terselubung.
Membosankan ! jika bertanya kepadanya, tak pernah disahut.
Saat matahari mulai nampak. Kutengok
kembali paras diriku di depan cermin tapi tidak seperti biasanya. Sejauh apakah
yang dirasakan, tapi kemudian berkehendak hati tak merespon setiap segala
peristiwa yang kabur.
Terkadang sangat begitu jengkel melihat
diriku yang selalu mau menang sendiri. Keinginan itu tidak serta merta ingin
tumbuh menjadi pribadi yang penuh tamak. Mengelus hati seolah bisa sedikit
meredakan emosi. Paling tidak meringankan sejengkal luapan kata-kata yang tidak
mengenakan. Semua butuh proses untuk mengendalikan semua yang terjadi. Bila
muncul dan selalu membawa raga yang tak berkesudahan. Langkah untuk bisa
menyurutnya biasanya ‘menggurutu dalam hati’.
Persoalan yang tidak bisa mengontrol, tidak
mau menjadi bumerang dan merugikan pihak lain yang terkena dampaknya. Kemudian,
tak berimbas juga segala motivasi yang mewarnai dan pada akhirnya selalu
terjebak dalam stagnasi.
Ingin menjadi bijak dan sabar. Beragam upaya
pun telah dilakukan, salah satunya ialah dengan berpuasa. Namun itu hanya sesaat
belaka, diriku tak mau menjadi manusia yang kehilangan kendali. Jika ini terus berlanjut,
apalah arti suatu kehidupan.
0 Comments:
Posting Komentar