Manusia
sebagai pribadi adalah berhakikat sosial. Artinya, manusia akan senantiasa dan
selalu berhubungan dengan orang lain. Manusia tidak mungkin hidup sendiri tanpa
bantuan orang lain. Fakta ini memberikan kesadaran akan ‘ketidakberdayaan’
manusia dalam memenuhi kebutuhannya sendiri.
Kehadiran manusia di tengah-tengah
sesamanya adalah kodratiah. Hidup merupakan relasi, jaringan keterikatan yang
vital dan perlu. Seorang individu terjalin secara tidak terpatahkan dengan
sesama, dengan keluarga, tanah, alam, dan dengan misteri hidup yang transenden.
Dalam hidup dengan sesamanya, yang lazim disebut hidup bermasyarakat.
Masyarakat adalah sekumpulan orang yang
saling berinteraksi secara kontinyu, sehingga terdapat relasi sosial yang
terpola, terorganisasi. Manusia, baik sebagai individu maupun sebagai warga
masyarakat mempunyai kebutuhan. Dalam kehidupan bermasyarakat, kebutuhan dapat
bersifat individual atau kolektif. Konsekuensinya, selalu ada upaya manusia
untuk memenuhi kebutuhan tersebut sebagaimana berdasarkan teori hirarki
kebutuhan yang dikemukakan oleh Abraham Maslow yang terdiri dari; a) kebutuhan
fisiologis, b) kebutuhan akan rasa aman, c) kebutuhan untuk dicintai dan
disayangi, d) kebutuhan untuk dihargai, e) kebutuhan untuk aktualisasi diri. Kemudian,
hal itu diperkuat sebagaimana penjelasan Herimanto dan Winarno di dalam bukunya
Ilmu Sosial dan Budaya Dasar bahwa sejak manusia dilahirkan, ia mempunyai dua
keinginan pokok, yaitu a) keinginan untuk menjadi satu dengan manusia di
sekelilingnya, b) keinginan untuk menjadi satu dengan sesama alam dan
sekelilingnya.[1]
Menurut Tan Malaka, masyarakat tidak
lain sebagai sebuah mekanisme produksi sistem yang dibentuk dari masa lampau
(historis) dan realitas kekinian. Masyarakat membentuk pola-polanya dengan sistem
adaptasi yang kuat. Masyarakat bagi Tan Malaka adalah sebuah materi, dan produk
sosialnya adalah ide. Tesis Tan Malaka tentang masyarakat adalah bukan ide yang
menentukan keadaan masyarakat dan kedudukan seseorang dalam masyarakat,
melainkan sebaliknya, keadaan masyarakatlah yang menentukan ide.[2] Jika
ditinjau bonus demokrasi Indonesia, berdasarkan data sensus tahun 2010 sekitar
237. 641. 326, dan 25% dari jumlah tersebut atau 57,81 juta jiwa ialah pemuda.
Potret Pemuda Indonesia
Kondisi
yang terjadi dilapangan banyak pemuda memiliki ruang yang sempit untuk
mengembangkan bakat dan minat mereka. Padahal, jika pemuda diberikan ruang yang
lebih besar untuk berkembang, pemuda dapat melatih diri mereka dan
mengembangkan diri mereka melalui kegiatan yang mereka minati. Kurangya
perhatian pemerintah terhadap pemuda secara tidak langsung telah berdampak
kepada tingginya jumlah pengangguran di Indonesia.
Dampak kronis tingginya jumlah
pengangguran, maka akan mengakibatkan berbagai bentuk penyimpangan, seperti
narkoba, tawuran antar pelajar/mahasiswa, nikah dini dan sebagainya. Sebagai contohnya,
berdasarkan data statistik, jumlah remaja yang terlibat kasus NAPZA sekitar 78%
dari 3,2 juta penduduk (SKRRI, 2007), di tahun 2009 jumlah remaja yang terlibat
narkoba adalah sekitar 1,1 juta pelajar dan mahasiswa, selain narkoba yang
patut disorot ialah tawuran, setidaknya 17 remaja tewas dalam tawuran di
wilayah Jabodetabek sejak 1 Januari 2012 hingga 26 September 2012 (Tempo,
2012).[3]
Lalu bagaimanakah nasib generasi
penerus bangsa Indonesia bila tidak diberdayakan dengan baik? UN Research Institute for Social Development
mengungkapkan bahwa dengan melibatkan pemuda untuk membuat kebijakan yang
berhubungan langsung dengan kehidupan pemuda dapat meningkatkan jiwa
kepemimpinan dan kemampuan mengambil keputusan mereka. Pemuda merupakan entitas
penting dalam gerak maju suatu bangsa. Melalui pengelolaan generasi muda yang
tepat, seperempat dari jumlah penduduk tersebut mampu menjadi motor penggerak
perubahan yang kreatif, inovatif, dan memiliki daya saing yang unggul.
Rumah Belajar Avicenna Solusi
Kontribusi Bangsa
Rumah
belajar Avicenna merupakan wadah multifungsi yang digunakan sebagai tempat
belajar dan mengajar bagi masyarakat umum. Rumah Belajar Avicenna hasil karya
komunitas kami berdiri semenjak 13 Mei 2013, berlokasi di jalan raya Babelan
No. 35 RT.004/01, Kelurahan Kebalen, Kecamatan Babelan, Kabupaten Bekasi,
Provinsi Jawa Barat.
Alasan berdirinya disana berdasarkan
pengamatan dikarenakan Babelan merupakan suatu desa / perkampungan yang kurang
mendapatkan perhatian dari pemda setempat dalam akses perbukuan, rendahnya
minat baca warga sekitar, kurangya keterampilan berwirausaha masyarakat,
minimnya lahan bermain bagi anak-anak dalam menunjang kreativitas, kemampuan
emosional, dan spiritualitas serta sebagian besar warga Babelan berprofesi
sebagai juru parkir dan berdagang, kemudian juga banyak anak-anak yang putus
sekolah.
Dengan demikian, turut serta
bersumbangsih bagi daerah ini, karena minimnya perhatian pemda setempat untuk
segera ditangani. Jumlah warga disana sekitar 2.500-an orang. Rumah Belajar
Avicenna dengan salah satu misinya yaitu memberikan ruang bagi masyarakat untuk
berekspresi dan berkreasi serta menggali dan mengembangkan potensi diri.
Referensi:
Herimanto
dan Winarno. 2009. Ilmu Sosial dan Budaya
Dasar. Jakarta: Bumi Aksara
Mulya,
Fadjar. 2012. Prestasiku untuk Masa Depan.
Jakarta: 959 Publishing
Syaifudin.
2012. Tan Malaka: Merajut Masyarakat dan
Pendidikan Indonesia yang Sosialistis.
Jakarta: Ar-Ruzz Media
[1]
Herimanto dan Winarno. Ilmu Sosial dan
Budaya Dasar. (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), hal. 45
[2]
Syaifudin. Tan Malaka: Merajut Masyarakat
dan Pendidikan Indonesia yang Sosialistis. (Jakarta: Ar-Ruzz Media, 2012),
hal. 138-139
[3]
Fadjar Mulya. Prestasiku untuk Masa Depan.
(Jakarta: 959 Publishing, 2012), 42-43
0 Comments:
Posting Komentar