Dahulu
semenjak kecil hingga menjelang remaja, saya bocah yang lugu dan begitu apatis
terhadap lingkungan sekitar. Bergaul pun tidak, hanya berkutat dalam rutinitas
yang tidak terlalu penting dan membosankan, terus menerus hingga berakhir masa
sekolah sebagai pelajar SMA/MA.
Tidak
pernah terbesit, apa itu impian atau cita-cita yang harus digapai. Di sekolah,
guru cuman sekadar retorika di kelas, tapi nihil motivasi dan absurd pembelajaran yang tidak begitu
bermakna. Ujian demi ujian, melakoni sebagai peserta didik bak sapi yang
dicocok hidungnya. Retak kongsi antara kata dan laku bias pembelajaran.
Persoalan
yang mengemuka, diriku yang begitu polos, pendiam, dan sedikit introvert pada saat itu, dalam pencarian
jatidiri menjadi permasalahan sebagai remaja yang hampir saja lepas kendali
pribadi. Seperti, terlibat dalam aksi nge-track
motor di sepanjang halaman Harapan Indah, Bekasi. Sedikit berubah kebiasaan
yang tak pernah saya lakukan sebelumnya.
Lantas
apa yang membuat hal itu bisa terjadi? Sebagaimana penjelasan diatas, tidak ada
upaya dalam memotivasi saya baik secara internal maupun eksternal. Semua saya
lakukan apa yang saya bisa lakukan sesuai kata hati saya. Jatuh bangun, lalu
berintropeksi seiring berjalannya waktu.
Bila
saya mengatakan secara jujur, saya sangat begitu terobsesi jika melihat
teman-teman memiliki segudang prestasi, dengan kepandaiannya bisa mempunyai
banyak teman, dan sebagainya. Rasa iri tersebut, saya sangat begitu rasakan ketika
sejak lulus SD. Tidak tahu kenapa rasa obsesi tersebut, perlahan menghinggapi
jiwa raga saya ini. Terbukti saya lakukan dengan segenap kemampuan saya, dalam
masa usia sekolah menengah, baik masa SMP dan SMA/MA di Bekasi, saya membuktikan
hal tersebut dengan meraih predikat masuk 3 besar prestasi akademis.
Secara
prestasi akademis, alhamdulillah mampu sedikit demi sedikit diwujudkan. Dalam
bidang non akademik pun, pernah berpartisipasi. Sejak masa SMP, pernah
mengikuti lomba cerdas cermat se-Bekasi yang diselenggarakan oleh SMPN 5
Bekasi. Saat itu saya menjadi perwakilan dari sekolah bersama Maria, rekan saya
saat itu. Tapi belum berhasil, namun menjadi referensi pengalaman saya pribadi
untuk berusaha menjadi lebih baik lagi. Serta pernah menjadi wakil ketua OSIS
SMP Travina Prima, Bekasi.
Menginjakkan
masa SMA/MA, selain prestasi akademik yang saya menjadi patokan dalam jenjang
usia sekolah, pun berbagai event-event pada waktu itu, pernah menjuarai juara
II lomba Hacking Rally bersifat grup yang diselenggarakan oleh SMAN 1 Bekasi.
Dan pengalaman prestasi secara non akademik lainnya, yaitu menjadi salah satu
kandidat lomba cerdas cermat dari perwakilan sekolah dalam event Cerdas Cermat
UUD 1945 yang diselenggarakan oleh MPR RI. Sungguh pengalaman yang begitu
berharga menjadi bagian salah satu kandidat, dengan menyisihkan ratusan peserta
didik lainnya.
Semua
yang saya usahakan secara maksimal berkat atas doa yang saya panjatkan ke
Allah SWT, dan dukungan berbagai pihak
baik dari keluarga, teman dan guru sekalian. Capaian atas prestasi atau
referensi pengalaman tersebut, tidak pernah terbesit menjadi target yang harus
ditulis dalam sebuah kertas. Hanya membaur dalam self esteem, dan kebutuhan akan rasa ingin dihargai.
Terjadi
suatu kontraproduktif, di satu sisi sifat pribadi yang terlalu individualistis
tapi juga memiliki hati ingin berbagi namun di sisi lain, kekayaan akan suatu
penghargaan menjadi mutlak harus diupayakan. Dalam hal ini, bukan bersifat
riya. Hanya sebatas mengenal lebih jauh siapa sosok pribadi saya, dan kenapa
saya harus ada di muka bumi ini, dan bagaimana saya bisa menjalankan peran saya
sebagai makhluk sosial? Pertanyaan – pertanyaan tersebut yang selalu menjadi
titik hibernasi dikala saya merasa badmood,
dan kurang berdaya.
Well,
waktu terus berjalan dan pastinya tidak akan bisa diputar ulang. Memandang jauh
kedepan, posisiku saat itu masih berusia 18 tahun, dalam rentang usia yang
masih begitu muda dan energik. Membatin dengan rasa kuat dan keras di dalam
hati, “APA YANG BISA SAYA PERBUAT UNTUK KELUARGA, MASYARAKAT, BANGSA DAN NEGARA???”
Saya
teringat sekali pada waktu saya melamar sebagai tutor di Bimbingan Belajar
Quantum di Bekasi. Setelah proses administrasi dan microteaching. Selanjutnya ada pembekalan Training of Trainer (ToT) kepada seluruh tutor di bimbel tersebut.
Pembekalan ToT pada saat itu, mengenai pentingnya arti sebuah impian. “Impian
pasti banyak dan ingin selalu diwujudkan. Namun, bila hanya sekadar imagine belaka, dalam arti tidak mencoba
di tulis diatas kertas yang menjadi landasan target butir-butir mimpi dalam
menjawab seberapa besar pribadi kita mampu mencapainya?”, pungkas Mba Nina.
Setelah
pembekalan tersebut, lalu saya mencobanya dirumah. Berbagai target impian
selama satu tahun saya coba sebagai permulaan. Terdapat sekitar 100 impian
dalam periode 2011-2012. Jatuh bangun, itulah yang saya rasakan, memang tidak
semudah seperti membalikkan telapak tangan. Namun, proses mengalaminya menjadi
suatu nilai yang begitu berharga. Alhasil, dalam masa satu tahun permulaan
tersebut, hanya sekitar 40 target yang berhasil dicapai, selebihnya menghilang
atau dikenal dengan istilah NATO (Not
Action Talk Only).
Setiap
akhir tahun menjadi refleksi pribadi saya, dalam menjangkau realisasi tersebut.
“Tidak ada hal yang perlu disesalkan”, ungkap batinku. Secara kodrat sangat
begitu manusiawi, tapi minimal ada suatu upaya yang bisa saya perbuat atau bisa
saya wujudkan.
Tahun
berikutnya, saya menjangkau target impian kembali, tidak hanya satu tahun tapi
hingga 20 tahun kedepan. Alhasil, dalam masa impian tersebut alhamdulillah
banyak sekali capaian yang berhasil dan menjadi kebanggan tersendiri. Seperti,
mendapatkan beasiswa dari Yayasan DKI Jakarta, finalis Duta FIS, sebagai
pembicara baik di dalam organisasi maupun diluar organisasi, memenangkan lomba
kejuaraan menulis, prestasi akademis, dan berbagai hal lainnya baik event yang
bersifat lokal, regional, nasional, maupun skala internasional.
Refleksi
kembali pula hari ini, 31 Desember 2013 jam13.26 wib sebagaimana tulisan ini
dimuat. Secara keseluruhan beberapa target dalam mewujudkan impian hingga 20
tahun yang akan datang, sedikit demi sedikit terwujud. Alhamdulillah.
Poin
penting dalam menggapai impian tersebut, berkutat kepada tokoh-tokoh besar
bangsa Indonesia, meskipun mereka telah tiada, tetapi karya dan kontribusi
mereka dalam memperjuangkan Indonesia dari segala ketertindasan bangsa asing
masih melekat dihati rakyat Indonesia. Sebut saja misalnya, Tan Malaka,
Soekarno, Moh Hatta dan sebagainya.
Atas
dasar itulah, seyogianya saya pun ingin melakukan hal yang sama dengan
perjuangan para tokoh bangsa Indonesia. Berkontribusi untuk bangsa Indonesia,
melalui jalan saya pribadi. Lalu apa
sumbangsih saya kepada ibu pertiwi? Suatu keinginan besar, saya ingin
mendirikan perpustakaan yang dapat menjangkau bagi segala kalangan. Khusus
dalam hal ini, yaitu pemberdayaan melalui anak jalanan, masyarakat sekitar,
pelajar dan mahasiswa.
Kontribusi
saya pada saat itu terjadi pada tanggal 10 November 2013 – bertepatan
memperingati hari Pahlawan. Terdapat suatu kegiatan positif yang terletak di
Jalan Raya Babelan No.35 RT.04/01 Kelurahan Kebalen, Kecamatan Babelan, Bekasi,
mengisi memaknai ruang kemerdekaan dengan mendirikan “Perpustakaan Rakyat”.
Hadirnya
perpustakaan rakyat di lingkungan Bekasi, sebagai tindak lanjut dalam mengatasi
kekosongan yang selama ini belum difungsikan dengan baik. Perpustakaan rakyat
berada di bawah naungan Rumah Belajar Avicenna. Pun program-program yang
terdapat di Rumah Belajar Avicenna seperti; setiap
Senin sampai Jum’at digunakan sebagai tempat Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) /
TK pada pukul 08.00 – 10.00, Bimbingan dan pendampingan belajar pukul 11.00 –
15.00, Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPQ) siang pukul 15.30 – 17.30, dan TPQ
malam pukul 18.00 – 19.30.
Perpustakaan
Rakyat merupakan bagian dari salah satu program Rumah Belajar Avicenna.
Sebagaimana fungsi dibentuknya Rumah Belajar Avicenna sebagai wadah multifungsi
yang digunakan sebagai tempat belajar dan pembinaan sekaligus juga sebagai
tempat pembelajaran bagi para volunteer
yang berniat membagikan ilmu dan pengalaman. (Radar Bekasi, 1 Mei 2013).
Ide
dasar terbentuknya Perpustakaan Rakyat, terinspirasi oleh sepak terjang Tan
Malaka dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia atas kolonialisme.
Salah satu cara mengatasi kemelut tersebut yaitu, pendidikan. Pendidikan
menjadi hal inheren dalam kehidupan manusia. Selama peradaban manusia itu ada,
selama itu pula pembahasan tentang pendidikan akan berjalan dinamis.
Kedinamisan melahirkan banyak interpretasi dan kajian pendidikan itu sendiri.
John
Dewey melihat pendidikan adalah proses sosial yang membantu anak dalam
menggunakan kemampuan-kemampuannya sendiri demi mencapai tujuan sosial.
Kemudian, Durkheim dengan optimis meyakini bahwa pendidikan adalah instrumen
pembentukan moral manusia. Bagi Ki Hajar Dewantara, pendidikan harus bisa
memerdekakan manusia dari ketergantungan kepada orang lain dan bersandar kepada
kekuatan sendiri. Lebih lanjut, H.A.R Tilaar menambahkan, pendidikan tidak
hanya menciptakan manusia yang pintar, tetapi juga berbudaya.
Atas
inspirasi sepak terjang Tan Malaka tersebut, pun Perpustakaan Rakyat berhasil dilaunching meskipun sifatnya masih non
formal. Artinya, pengesahan belum secara resmi namun terus berbenah hingga
lebih baik. Hal yang menyebabkan tersebut; minimnya SDM / volunteer, kesibukan masing-masing volunteer dan sebagainya. Namun, pada akhirnya dengan jumlah kurang
lebih 10-15 pemuda – pemudi serta keyakinan moril dan optimis, perpustakaan
rakyat dapat diwujudkan.
Berbekal
dalam memenuhi infrastruktur perpustakaan rakyat terutama buku, para volunteer blusukan ke rumah warga,
menginformasikan sumbangan buku baik melalui sms, door to door, social media dan berbagai cara untuk
bisa memenuhinya. Terdapat lebih dari 200 buku, dengan berbagai genre, sedikit demi sedikit Insya Allah
suatu saat dapat melengkapi setiap koleksi buku bacaan.
Pasca
launching tersebut, mulai tanggal 16
– 17 November 2013 perpustakaan rakyat buka setiap hari Sabtu-Minggu dari jam
09.00 – 17.00 wib diselingi pula baik dengan adanya kegiatan pelatihan,
bimbingan belajar untuk pelajar, keterampilan dan lain-lain tanpa dipungut
biaya dengan tujuan untuk menarik simpati rakyat dalam hal ini generasi pemuda
sekitar agar lebih mengedepankan budaya literasi dalam berkontribusi mewujudkan
pendidikan di Bekasi.
Gambaran
diatas merupakan suatu upaya saya dan rekan-rekan pengurus perpustakaan rakyat
Bekasi, menyebarkan virus optimisme akan suatu perubahan terutama kepada
generasi pemuda di sekitar lingkungan perpustakaan rakyat Bekasi agar turut
berpartisipasi dalam mengawali perubahan yang menjadi poros perubahan oleh
pemuda, dari pemuda, dan untuk pemuda.
Generasi
muda, sebagai motor pergerakan dan perubahan bangsa, menjadi salah satu aset
utama perubahan di negeri ini. Pemuda adalah agen perubahan, lebih dari itu,
pemuda adalah aset perubahan. Generasi yang kuat dan optimis. Karakter dari
individu yang seperti itulah yang dibutuhkan bangsa ini, untuk menciptakan
ekosistem perubahan dan sosok kepemimpinan dari tiap-tiap pundak pemuda
Indonesia.
Dengan
demikian, langkah kecil ini tidak akan terwujud berkat doa dan dukungan kepada
pihak-pihak yang telah memberikan sumbangsihnya baik materil maupun nonmateril
sehingga dapat merintis perpustakaan rakyat hadir ditengah masyarakat atas
minimnya pemerintah daerah setempat dalam meningkatkan kualitas pelayanan
pendidikan di Bekasi terutama terkait akses buku murah dan perpustakaan.
Harapan
untuk kedepannya selain menambah jumlah koleksi buku dan berbagai perlengkapan
lainnya, juga perpustakaan rakyat dapat mengekspansi ke seluruh wilayah di
Bekasi, sebagaimana mengutip adagium Goenawan Mohammad, “Menjadi Indonesia adalah menjadi manusia yang bersiap memperbaiki
keadaan, tetapi bersiap pula untuk melihat bahwa perbaikan itu tidak akan
sempurna dan ikhtiar itu tidak akan pernah selesai”. Amin.
***
0 Comments:
Posting Komentar