Pendidikan Minus Karakter
Oleh :
Muhammad Handar
Mahasiswa Jurusan Ilmu Sosial Politik / Pendidikan Kewarganegaraan 2009

“To educate a person in mind  and not in morals is to educate a menace to society”
(Mendidik seseorang dalam aspek kecerdasan otak dan bukan aspek moral adalah ancaman marabahaya kepada masyarakat)
-Theodore Roosevelt-

Pendahuluan
Para ahli (Morgenthau, 1993; DeVos, 1968) mendefinisikan karakter bangsa dalam konteks negara-bangsa (nation-state) sebagai salah satu unsur kekuatan nasional (national power) dalam politik antarbangsa. DeVos mendefinisikan karakter bangsa sebagai berikut: The term “national character” is used to describe the enduring personality characteristics and unique life style found among the populations of particular national states. Artinya, istilah karakter bangsa digunakan untuk mendeskripsikan ciri-ciri kepribadian yang tetap dan gaya hidup yang khas yang ditemui pada penduduk negara bangsa tertentu.[1] Karena terkait dengan masalah kepribadian yang merupakan bagian dari aspek kejiwaan maka diakui oleh DeVos bahwa dalam konteks perilaku, karakter bangsa dianggap sebagai istilah yang abstrak yang terikat oleh aspek budaya dan termasuk dalam mekanisme psikologis yang menjadi karakteristik masyarakat tertentu. (Yasin, Yasnita,dkk. 2010: 89)
Lebih lanjut, DeVos (1968:14) menguraikan bahwa secara historis, munculnya kesadaran adanya perbedaan kebangsaan bermula di Eropa “…the difference between Danes and Swedes, between northen and southern Italians, northen and southern Belgians, or northen and southern Dutch”. Namun persepsi tentang perbedaan perilaku yang menimbulkan kesan verbal yang berusaha sungguh-sungguh mengkaji secara sistematis tentang persepsi perbedaan dalam konfigurasi kepribadian, baru muncul pada tahun 1940-an (DeVos, 1968:14). Sejak saat itu, konfigurasi “personality” berhasil dirumuskan oleh para antropolog bahkan dari pandangan budaya di luar Eropa.
Sejak 2500 tahun yang lalu, Socrates telah berkata bahwa tujuan paling mendasar dari pendidikan adalah untuk membuat seseorang menjadi good and smart. Dalam sejarah Islam, sekitar 1500 tahun yang lalu Muhammad SAW, Sang Nabi terakhir dalam ajaran Islam, juga menegaskan bahwa misi utamanya dalam mendidik manusia adalah untuk mengupayakan pembentukan karakter yang baik (good character). Berikutnya, ribuan tahun setelah itu, rumusan tujuan utama pendidikan tetap pada wilayah serupa, yakni pembentukan kepribadian manusia yang baik. Tokoh pendidikan Barat yang mendunia seperti Klipatrick, Lickona, Brooks dan Goble seakan menggemakan kembali gaung yang disuarakan Socrates dan Muhammad SAW, bahwa moral, akhlak atau karakter adalah tujuan yang tak terhindarkan dari dunia pendidikan. Begitu juga dengan Martin Luther King Jr. menyetujui pemikiran tersebut dengan mengatakan, “intelligence plus character, that is the true aim of education”. Kecerdasan plus karakter, itulah tujuan yang benar dari pendidikan.
Kaleidoskop Pendidikan Karakter di Indonesia
Indonesia adalah negara besar yang berpenduduk lebih dari 220 juta jiwa dengan wilayah yang terdiri dari 13.000 pulau. Kebhinekaan yang terdiri 300 suku bangsa, dengan 200 bahasa yang berbeda.[2] Dari Sabang hingga Merauke, dari Timur sampai ke Talaud, menjadi deskripsi lisan terbentangnya bangsa Indonesia yang kaya akan sumber daya alam dan budayanya. Namun, hal terpenting yang harus diingat adalah bahwa dalam setiap jengkal kekayaan, kedaulatan, kebhinekaan bangsa Indonesia tersebut terdapat hak yang harus dipenuhi, yaitu pendidikan untuk semua (education for all). Kemanusiaan dijunjung, hak asasi dihargai, dan keadilan diwujudkan. Pendidikan mengambil peran penting dalam membangun kehidupan bangsa saat ini.
Menurut penulis, pendidikan nasional masih minus karakter. Hal ini dibuktikan dengan kian maraknya tawuran antarpelajar dan praktek anarkis di ruang publik yang dilakonkan oleh mahasiswa di seantro nusantara. Tingginya frekuensi tawuran dan perilaku anarkis di tanah air mendeskripsikan minusnya karakter dalam sistem pendidikan nasional. Padahal, pembentukan karakter (character building) adalah common platform yang dicita-citakan dalam UU Sistem Pendidikan Nasional.
Dalam laporan UNESCO (2007), disebutkan bahwa “Pendidikan Indonesia hanya mampu menempati peringkat ke-62 dari 130 negara di dunia”. Begitu pula, dalam Human Development Index (2005) juga dinyatakan, “Di ASEAN, peringkat Indonesia jauh di bawah Filipina, Thailand, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Singapura”. Lebih buruk lagi, survei yang dilakukan Bank Dunia (2004) di 76 negara menunjukkan bahwa Indonesia mendapat nilai terendah dalam hal komitmen kebijakan dan tindakan pemerintah menghapuskan biaya bagi pendidikan dasar.[3] Berdasarkan fakta-fakta diatas, setidaknya menguatkan anggapan bahwa sistem pendidikan nasional masih berorientasi capital investment, bukan human investment. Akibatnya, pembentukan karakter menjadi terabaikan. Persoalan semakin kronis tatkala negara menjadikan ujian nasional (UN) sebagai patokan kelulusan siswa. Merujuk pada sebuah amar putusan akhir bahwa UN telah ditolak oleh Mahkamah Agung (MA) dengan surat putusan nomor register 2596 K/PDT/2008 yang diputuskan pada 14 September 2009 lalu. Putusan kasasi MA menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta (tahun 2007) perihal penolakan permohonan pemerintah.
Selanjutnya, gugatan warga negara atau citizen lawsuit pun dilayangkan masyarakat yang merasa dirugikan akibat UN. Mereka menggugat Presiden RI, Wakil Presiden, Kemendiknas (sekarang Kemendikbud) dan Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) atas dilaksanakannya kebijakan UN yang menjadi salah satu penentu syarat kelulusan. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutuskan bahwa para tergugat lalai dalam memberikan pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia terhadap warga negara yang menjadi korban UN. Pemerintah Indonesia masih saja bersikeras melaksanakan UN dengan dalih yang dipakai berpijak pada dasar Permendiknas Nomor 75/2009 tentang UN tingkat SMA dan SMP dan Permendiknas Nomor 74/2009 tentang Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional (BSNP).
Padahal, tujuan utama diselenggarakannya pendidikan adalah mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kecerdasan, kepribadian, dan akhlak mulia. Padahal, pentingnya pendidikan karakter amat disadari oleh founding fathers. Dengan semangat untuk memerdekakan segenap rakyat, dicantumkan frase “mencerdaskan kehidupan bangsa” di dalam Pembukaan UUD 1945.
Secara khusus di dalam pasal 31 UUD 1945 disebutkan tentang hak dan kewajiban warga negara untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan negara mesti memberikan kesempatan pendidikan kepada setiap warga negara. Di dalam ayat 1 disebutkan, “setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”. Di dalam ayat 2 ditegaskan, “setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”.
Sedangkan tujuan dari penyelenggaraan pendidikan ditegaskan dalam ayat 3, “pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang”. Sementara di ayat 5 dinyatakan, “Pemerintah memajukkan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia”.
Untuk mendukung upaya tersebut, konstitusi menegaskan anggaran progresif untuk pendidikan, sebagaimana dijelaskan dalam ayat 4, “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN)  serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional”.[4]
Pentingnya Karakter
Seorang Thomas Lickona pernah mengungkapkan bahwa akan terdapat sepuluh tanda-tanda jaman di masa yang akan datang yang harus diwaspadai. Jika tanda-tanda ini terdapat dalam sebuah bangsa berarti ia sedang menuju jurang kehancuran. Tanda-tanda tersebut diantaranya meliputi: 1) meningkatnya kekerasan di kalangan remaja, 2) penggunaan bahasa dan kata-kata yang memburuk, 3) pengaruh peer-gorup yang kuat dalam tindak kekerasan, 4) meningkatnya perilaku merusak diri, seperti penggunaan narkoba, alkohol dan seks bebas, 5) semakin kaburnya pedoman moral baik dan buruk, 6) menurunnya etos kerja, 7) semakin rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru, 8) rendahnya rasa tanggung jawab individu dan warga negara, 9) membudayanya ketidakjujuran, 10) adanya rasa saling curiga dan kebencian di antara sesama.[5]
Secara umum persoalan berat yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini sebagai akibat era globalisasi adalah terjadinya interaksi dan ekspansi kebudayaan yang ditandai dengan semakin berkembangnya pengaruh budaya pengagungan material secara berlebihan (materialistik), pemisahan kehidupan duniawi dari supremasi agama (sekularistik), dan pemujaan kesenangan indera mengejar kenikmatan badani (hedonistik). Gejala ini merupakan penyimpangan jauh dari budaya luhur turun temurun serta merta telah memunculkan berbagai bentuk kriminalitas, sadisme, dan krisis moral secara meluas.
Ada beberapa alasan mendasar yang melatarbelakangi pentingya pembangunan karakter bangsa, baik secara filosofis, ideologis, normatif, historis, maupun sosiokultural. Secara filosofis, pembangunan karakter bangsa merupakan sebuah kebutuhan asasi dalam proses berbangsa karena hanya bangsa yang memiliki karakter dan jati diri yang kuat yang akan eksis. Secara ideologis, pembangunan karakter merupakan upaya mengejewantahkan ideologi Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Secara normatif, pembangunan karakter bangsa merupakan wujud nyata langkah mencapai tujuan negara, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukkan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Secara historis, pembangunan karakter bangsa merupakan sebuah dinamika inti proses kebangsaan yang terjadi tanpa henti dalam kurun sejarah, baik pada zaman penjajahan maupun pada zaman kemerdekaan. Secara sosiokultural, pembangunan karakter bangsa merupakan suatu keharusan dari suatu bangsa yang multikultural.
Pembangunan karakter bangsa adalah upaya kolektif-sistemik suatu negara kebangsaan untuk mewujudkan kehidupan bangsa dan negaranya sesuai dengan dasar dan ideologi, konstitusi, haluan negara serta potensi kolektifnya dalam konteks kehidupan nasional, regional, dan global yang berkeadaban. Semuanya itu, untuk membentuk bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, bermoral, berbudi luhur, bertoleran, bergotong royong, berjiwa patriotik, berkembang dinamis, berorientasi IPTEKS yang semuanya dijiwai oleh iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan Pancasila.
Reformasi Pendidikan
Pembentukan karakter manusia tidak bisa memberikan output yang instan atau langsung dan dapat dilihat hasilnya secara konkret. Diperlukan jangka panjang untuk melihat dampak output dari pendidikan manusia.
Nurcholish Madjid mengatakan bahwa, “Pendidikan juga merupakan investasi manusia (human investment), sehingga buahnya baru dirasakan setelah lewat satu generasi … dan kalau ‘menanam’ manusia (melalui pendidikan) harus berani menembus satu generasi, yaitu 20 sampai 25 tahun”.
Di awal pemerintahan SBY jilid II, kebijakan pendidikan nasional diarahkan untuk: 1) meningkatkan pelayanan pendidikan dasar 9 tahun yang bermutu dan terjangkau, 2) meningkatkan profesionalisme dan pemerataan distribusi guru, 3) memperkuat relevansi antara pendidikan dengan kebutuhan ketersediaan tenaga kerja dalam mendukung ekonomi, 4) meningkatkan daya saing pendidikan tinggi.
Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyatakan, reformasi bidang pendidikan harus terus ditindaklanjuti dengan menggunakan dua perspektif, yaitu mengembalikan pendidikan pada hakikatnya serta mengembangkan inovasi. Hal ini diungkapkan Presiden pada acara puncak peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2010 di Istana Negara, Jakarta, Selasa (11/5).
Pendidikan sebagai perekat hanya tercapai apabila masyarakat memiliki akses yang sama terhadap jalur dan jenjang pendidikan. Karena pemerataan pendidikan merupakan isu paling kritis dan berkait erat dengan keadilan dalam memperoleh akses pendidikan. Memperoleh pendidikan yang layak merupakan hak asasi setiap warga bangsa yang dijamin konstitusi. Maka, pemerintah wajib memberi pelayanan pendidikan yang baik kepada seluruh masyarakat. Pemerataan mutu maupun jumlah pendidikan merupakan sebuah urgensi besar bagi bangsa Indonesia. Sebab, sementara di kota-kota besar telah banyak warga yang memasuki era globalisasi peradaban manusia dengan fasilitas-fasilitas komunikasi dan transportasi, bersamaan dengan itu masih banyak kantong-kantong warga bangsa Indonesia yang masih mengikuti cara hidup yang jauh tertinggal.
Jika persoalan pemerataan bisa dijalankan, selanjutnya adalah pembangunan karakter dan semangat kebangsaan atau nation and character building (NCB). Pada konteks inilah, penggalian nilai-nilai Pancasila beroleh relevansinya.
Pendidikan karakter bangsa Indonesia yang terdiri atas berbagai macam suku bangsa, ras, dan agama, juga beraneka ragam budaya daerah tidak akan mudah terombang-ambing oleh berbagai konflik. Maka berangkat dari falsafah negara Pancasila yang merupakan pencerminan nilai-nilai yang digali dari seluruh bumi nusantara. Moehamad Soeparno mengemukakan rumusan karakter bangsa Indonesia terdiri dari 5 butir yaitu:
a)      Bangsa Indonesia adalah manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, patuh kepada hukum, perundang-undangan serta peraturan yang berlaku.
b)      Bangsa Indonesia adalah manusia yang bangga sebagai warga negara Indonesia serta mencintai Tanah Air dan bangsanya, berbudi pekerti yang baik, siap membela negara dan bangsa demi tegaknya negara Republik Indonesia
c)      Bangsa Indonesia di dalam kehidupan bermasyarakat, bernegara dan berbangsa adalah manusia yang memiliki jiwa kebersamaan, gotong-royong, serta toleransi
d)     Bangsa Indonesia adalah manusia yang berbadan sehat, bersih, hemat, jujur, tertib, cermat, rajin, tepat waktu, serta berdisiplin tinggi.
Kunci Sukses Pendidikan Karakter
  1. Dari knowing menuju doing
Pada bagian terdahulu telah disebutkan bahwa pendidikan karakter bergerak dari knowing menuju doing atau acting. William Kilpatrick menyebutkan salah satu penyebab ketidakmampuan seseorang berperilaku baik meskipun ia telah memiliki pengetahuan tentang kebaikan itu (moral knowing) adalah karena ia tidak terlatih untuk melakukan kebaikan (moral doing). Berangkat dari pemikiran ini maka kesuksesan pendidikan karakter sangat bergantung pada ada tidaknya knowing, loving, dan doing atau acting dalam penyelenggarakan pendidikan karakter.
Moral Knowing sebagai aspek pertama memiliki enam unsur, yaitu kesadaran moral (moral awareness), pengetahuan tentang nilai-nilai moral (knowing moral values), penentuan sudut pandang (perspective taking) logika moral (moral reasoning), keberanian mengambil menentukan sikap (decision making), dan pengenalan diri (self knowledge). Keenam unsur adalah komponen-komponen yang harus diajarkan kepada siswa untuk mengisi ranah kognitif mereka.
Selanjutnya Moral Loving atau Moral Feeling merupakan penguatan aspek emosi siswa untuk menjadi manusia berkarakter. Penguatan ini berkaitan dengan bentuk-bentuk sikap yang harus dirasakan oleh siswa, yaitu kesadaran akan jati diri, percaya diri, kepekaan terhadap derita orang lain, cinta kebenaran, pengendalian diri, kerendahan hati.
Setelah dua aspek tadi terwujud, maka Moral Acting sebagai outcome akan dengan mudah muncul dari para siswa. Namun, merujuk kepada tesis Ratna Megawangi bahwa karakter adalah tabiat yang langsung disetir dari otak, maka ketiga tahapan tadi perlu disuguhkan kepada siswa melalui cara-cara yang logis, rasional dan demokratis. Sehingga perilaku yang muncul benar-benar sebuah karakter bukan topeng.
  1. Identifikasi karakter
Pendidikan karakter tanpa identifikasi karakter hanya akan menjadi sebuah perjalanan tanpa akhir, petualangan tanpa peta. Organisasi manapun di dunia ini yang menaruh perhatian besar terhadap pendidikan karakter selalu dan seharusnya mampu mengidentifikasi karakter-karakter dasar yang akan menjadi pilar perilaku individu.
Indonesia Heritage Foundation merumuskan Sembilan karakter dasar yang menjadi tujuan pendidikan karakter. Kesembilan karakter tersebut ialah:
1.      Cinta kepada Allah dan semesta beserta isinya
2.      Tanggung jawab, disiplin, dan mandiri
3.      Jujur
4.      Hormat dan santun
5.      Kasih sayang, peduli, dan kerja sama
6.      Percaya diri, kreatif, kerja keras dan pantang menyerah
7.      Keadilan kepemimpinan, baik dan rendah hati
8.      Toleransi
9.      Cinta damai dan persatuan

















DAFTAR PUSTAKA

Budimanta, Arif, dkk. 2011. Memimpin Republik dengan Konstitusi. Jakarta: Megawati Institute
Nadiroh. 2008. Prospek dan Tantangan Civil Society di Indonesia. Jakarta: Pustaka Keluarga
Sulaiman, Tasirun. 2009. Wisdom of Gontor. Jakarta: Mizania
Tim Kreatif LKM UNJ. 2011. Restorasi Pendidikan Indonesia. Yogyakarta: Ar-ruzz Media
____ 2011. Pendidikan Karakter untuk Bangsa. Jakarta: Dirjen Pendidikan Dasar Kementrian Pendidikan Nasional
____ 2010. Pendidikan Karakter Teori dan Aplikasi. Jakarta: Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Kementrian Pendidikan Nasional
Yasin, Yasnita, dkk. 2010. Ilmu Kewarganegaraan. Jakarta: Lab. Sosial Politik Press UNJ
Tilaar, H.A.R, dkk. 2011. Pedagogik Kritis. Jakarta: Rineka Cipta
Shigesuke, Taira. 2009. Bushido Shoshinsu: Spirit Hidup Samurai. Surabaya: Selasar
Aly, Abdullah. 2011. Pendidikan Islam Multikultural di Pesantren. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Noor, Rohinah M. 2011. Pendidikan Karakter Berbasis Sastra. Yogyakarta: Ar-ruzz Media
Soedarsono, Soemarno. 2004. Character Building. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo
Wibowo, A. Setyo. 2011. Filsafat Eksistensialisme. Jakarta: Kanisius   
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

handar.jpg            Muhammad Handar, lahir di Jakarta pada tanggal 08 Agustus 1990. Anak pertama dari empat bersaudara dari pasangan Bapak Suryadi H.R dan Rohimi.
            Menyelesaikan pendidikan SDN Perwira V pada tahun 2002 di Bekasi, SMP Travina Prima pada tahun 2005 di Bekasi, MA Negeri 1 Kota Bekasi pada tahun 2008 di Bekasi.
           
            Kemudian melanjutkan pendidikan sarjana S-1 pada FIS Universitas Negeri Jakarta, Jurusan Ilmu Sosial Politik program studi PPKn.
            Selama masa pendidikan tersebut pernah mengikuti beberapa organisasi maupun prestasi, diantaranya: Paskibra, Wakil Ketua OSIS SMP Travina Prima, Pramuka, Staf Biro R&E HMJ ISP, Staf Litbang PUSDIMA FIS serta Kadiv Pengabdian Masyarakat PUSDIMA FIS. Sejumlah prestasi yang pernah diraih, diantaranya: Prestasi Akademik, Juara II Kategori  Kelompok Beregu Pria, Haking Rally di SMAN 1 Kota Bekasi, Finalis Duta FIS UNJ Tahun 2010.
Karya Tulis yang pernah dibuat :
  1. POLEMIK PENDIDIKAN DI INDONESIA. Lomba Esai FMIPA UNJ. 2010
  2. Sinyalemen Peran Keluarga dalam Membangun Ukhuwah Islamiyah yang Berperadaban Islami. Lomba Esai UNS, Solo, Jawa Tengah. 2011
  3. HOKY dengan PERI TEH ( Home Industri Kreatif, Inovatif dengan Pernak-Pernik Limbah Teh). PKM Dikti Bidang Gagasan Tertulis. 2011




[1]  Yasin, Yasnita, dkk. 2010. Ilmu Kewarganegaraan. Jakarta: Laboratorium Sospol Press UNJ, Hal. 89
[2]  Ichwal, Hamzah, dkk. 2011. Cultural Building of Education: Membangun Karakter Pendidikan Khas Indonesia dalam Buku Restorasi Pendidikan Indonesia. Yogyakarta: Ar-ruzz Media, Hal. 141
[3]  Nataprawira, Indah, dkk. 2011. Memimpin Republik dengan Konstitusi. Jakarta; Megawati Institute, Hal. 103
[4]  UUD 1945
[5]  ______2011. Pendidikan Karakter untuk Bangsa. Jakarta: Dirjen Pendidikan Dasar Kementrian Pendidikan Nasional, Hal. 89

0 Comments: