GIFTED SEBAGAI ASET BANGSA


Apakah Anda pernah menonton, membaca komik, dan yang lainnya tentang kehebatan Spiderman, Batman, Superman dan pahlawan super-super lainnya? Siapa yang sudah pernah menonton, ‘Man of Steel’, ‘Dark of Knight’, ‘Spiderman versi 1-3’ dan sebagainya? Saya yakin menebak pasti sudah. Secara kisah kehebatan pahlawan super tersebut banyak sekali selain menginspirasi, ada yang mengidolakan, bahkan ada juga yang mengoleksi mainan hingga kostum animenya.  Saking menggandrunginya. Namun, sisi lain kalau mengupas kehebatan dari pahlawan-pahlawan tersebut ditinjau dari sisi fiksi sudahlah hal yang biasa bukan. Namun, kalau kita bahas dari sisi nonfiksi alias nyata/berwujud pernahkah kalian sudah membaca headline koran Sindo pada hari Minggu, 28 Juli 2013?

Benar sekali. Terdapat sebuah berita mengenai kisah Manusia-Manusia Super, bukan super dalam hal fisik/jasmaniah tetapi super dalam hal ‘kemampuan otak’. Kecerdasan yang dimiliki dalam meraih sejumlah gelar akademik dari berbagai bidang keilmuan mampu diraihnya dengan cepat, baik, dan mumpuni. Hal ini terangkum dalam sebuah rubrik Periskop halaman 14, “Penyandang Gelar Akademik Terbanyak di Dunia” Lalu, siapa sajakah mereka? Mereka diantaranya; Hardial Singh Sainbhy dari India dengan meraih gelar akademik sejumlah 35 buah, RK Rai dari India meraih gelar akademik sebanyak 30 buah, Michael Nicholson dari Amerika Serikat meraih gelar akademik sebanyak 27 buah, Ashoka J Prasad Jr dari India meraih gelar akademik sebanyak 19 buah, Benjamin Bolger dari Amerika Serikat meraih gelar akademik sebanyak 11 buah, Zhou Baokuan dari China meraih gelar akademik sebanyak 9 buah, Michael Griffin dari Amerika Serikat meraih gelar akademik sebanyak 5 buah, dan Daniela Simidchieva dari Bulgaria meraih gelar akademik sebanyak 5 buah. Penyandang banyak gelar akademik juga terdapat di Indonesia. Meski tidak banyak, kecenderungan serupa mereka saat ini sudah menjadi sebuah fenomen mereka adalah Welin Kusuma dengan 22 gelar akademik, dan Aggy Tjetje dengan 8 gelar akademik.

Tulisan kali ini sedikit membedah artikel tersebut dari sudut pandang pendidikan. Secara akademik, mereka yang memiliki kemampuan diatas rata-rata hingga meraih lebih dari 20 hingga 30 gelar akademik sesuatu yang perlu diapresiasi karena hal itu juga merupakan hak asasi mereka dalam mencapai impian/target tersebut. Dalam dunia ilmu pendidikan, mereka termasuk dalam sebutan “gifted”.  Istilah gifted pertama kali diperkenalkan oleh Guy M Whipple dalam Monroe’s Encyclopedia of Education untuk menunjukkan keadaan anak-anak yang memiliki kemampuan supernormal (Henry, 1920 dikutip dari Passow, 1985 Vol 25 No.1)[1]. Berbagai istilah yang menunjuk pada keadaan gifted sebelumnya bermacam-macam. Seperti yang digunakan oleh William T.Haris tahun 1868 di St.Louis yaitu pupils of more than average capability, brilliant children, pupils of supernormal mentality, dan gifted. Demikian pula, ketika melakukan studinya di tahun 1869, Galton menggunakan istilah eminence, sedangkan Hollingworth (1926) menggunakan istilah gifted dan talented.

Menurut Hagen bahwa istilah gifted ditujukan untuk orang dengan kemampuan akademis tinggi dan istilah talented untuk orang dengan kemampuan unggul seperti dalam bidang seni, musik, dan drama. Masalah anak berbakat telah lama menjadi perhatian masyarakat dalam budaya manapun. Dengan mengetahui sejarah pembinaan anak berbakat (gifted), dapat diketahui pula hal-hal yang dilakukan orang sejak zaman dahulu terhadap anak berbakat tersebut. Misalnya, pada bangsa Yunani, khususnya di kalangan kelas menengah ke atas, anak laki-laki disekolahkan untuk dapat membaca, menulis, berhitung, dan sebagainya. Setelah anak meningkat besar, guru-guru professional dipanggil ke rumah untuk memberikan bimbingan matematika, logika, retorika, budaya umum dan keterampilan berdebat.

Dalam bukunya yang berjudul Republic, Plato memaparkan pandangannya tentang anak berbakat intelektual. Menurut Plato, ada tiga jenis manusia, yaitu jenis emas, jenis perak, dan jenis perunggu[2]. Tiap-tiap jenis ini mempunyai peran tersendiri dalam masyarakat yang berbeda satu dengan yang lain. Jenis manusia emas adalah jenis manusia unggul, yang mempunyai kelebihan daripada jenis lainnya sehingga dikatakan oleh Plato anak-anak dari jenis emas ini sangat memerlukan pendidikan khusus dan amat diperlukan oleh negara untuk menduduki posisi yang penting. Plato menyebutkan bahwa kemampuan lebih yang dimiliki seseorang adalah suatu gift, yakni karunia dari Tuhan yang tidak boleh disia-siakan dan karena itu perlu diperhatikan khusus.

Penulis mengemukakan bahwa perilaku berbakat terdiri dari perilaku yang mencerminkan adanya interaksi dari ketiga kluster ciri dasar manusia yang meliputi:
1.      Kemampuan baik di atas rata-rata/kemampuan umum:
Kemampuan tingkat tinggi dalam berpikir abstrak verbal dan numeral, hubungan spasial, ingatan, dan kelancaran kata-kata. Proses informasi yang otomatis, cepat, akurat, dan selektif dalam pencarian informasi.
2.      Kreativitas :
Kelancaran, keluwesan, dan orisinalitas dalam berpikir. Peka terhadap detail, cita rasa seni dalam gagasan dan segalanya, mau bertindak dan bereaksi terhadap ransangan luar serta gagasan dan perasaan orang lain.
3.      Tanggung jawab pada tugas / task commitment:
Kluster ketiga dari ciri yang konsisten ditemukan pada orang yang tergolong kreatif produktif adalah memiliki tanggung jawab, suatu bentuk halus dari motivasi. Melalui autobiografi, diungkapkan secara jelas bahwa salah satu faktor kunci keberhasilan orang tersebut adalah kemampuan mereka untuk secara total terlibat dalam pekerjaan yang ditekuni untuk waktu yang lama.

Kondisi pendidikan anak berbakat atau talented di Indonesia :
1.      Belum adanya lembaga khusus
2.      Belum adanya kurikulum khusus
3.      Pembelajaran berfokus pada daya serap materi
4.      Subsidi pemerintah sangat terbatas

Anak berbakat merupakan kekayaan masyarakat yang memerlukan pendidikan yang berbeda dari anak lain. Menurut John Fredrich Feldhusen (1985a) menyebutkan, perlunya anak berbakat intelektual diberi pendidikan khusus dengan alasan kebutuhan aktualisasi diri. Penulis mengutip kesimpulan pandangan Barbara Clark (1983) menyebutkan beberapa alasan  anak berbakat (gifted) membutuhkan pendidikan khusus :
1.      Keberbakatan muncul dari proses interaktif dimana tantangan dari ransangan lingkungan membawa keluar kapasitas yang dimiliki diri sendiri dan memprosesnya.
2.      Anak berbakat dapat segera menemukan gagasan dan minat mereka yang berbeda dari anak sebayanya.
3.      Kontribusi anak berbakat pada masyarakat berada pada seluruh aspek kehidupan, dan proporsional di dalam keseluruhan.

Dengan alasan-alasan tersebut dapatlah dilihat bahwa pemberian pelayanan pendidikan khusus bagi anak berbakat intelektual mencakup baik untuk dirinya sendiri maupun untuk lingkungan sekitarnya, masyarakat dan bangsa.

Referensi:

Anggai,dkk.2010.Psikologi Sosial.Jakarta: Lab.Sosial Politik UNJ

H.A,Reni.2005.Identifikasi Keberbakatan Intelektual Melalui Metode Non-Tes.Jakarta: Grasindo




[1] Reni Akbar Hawadi.Identifikasi Keberbakatan Intelektual Melalui Metode Non-Tes.(Jakarta:Grasindo,2005), hlm. 45-46
[2] Ibid hal 31-32

0 Comments: